Sutradara Wiro Sableng 212 Tolak Investor Berduit Kotor
A
A
A
TAHUN ini menjadi tahun yang supersibuk untuk Angga Dwimas Sasongko. Mulai dari menyutradarai Wiro Sableng 212, produser film Keluarga Cemara, syuting film berikutnya, tur edukasi ke SMK, hingga perluasan kantor perusahaannya, Visinema Pictures.
Semua dikerjakan dengan berusaha teguh pada idealisme berkarya dan berbisnis. Kesibukan Angga terlihat jelas saat KORAN SINDO melakukan janji wawancara dengannya pada Selasa (14/8) lalu di Kantor Visinema Pictures, Cilandak Timur, Jakarta Selatan. Seharusnya pertemuan dilakukan pukul 16.00 WIB.
Namun, setengah jam sebelum wawancara, tibatiba Angga ditelepon dan harus segera menuju kantornya yang lain, Kedai Filosofi Kopi, di daerah Melawai, Blok M. Ada rapat internal mendadak. Rapat pun baru kelar pukul 17.00. Setelah itu, Angga masih harus kembali ke kantor di Cilandak. Berjibaku dengan macet di Ibu Kota, akhirnya wawancara baru bisa dilaksanakan selepas magrib.
Wawancara dilakukan di bagian kantor yang baru setengah jadi. Saat itu memang bangunan tengah diperluas dengan mengambil lahan di samping bangunan lama. Semuanya demi menampung aktivitas kerja yang akan jauh lebih sibuk pada tahun mendatang. Berikut petikan wawancara kami dengan Angga seputar film Wiro Sableng dan visinya bersama Visinema.
Sebentar lagi film Wiro Sableng dirilis. Kalau melihat trailernya, sepertinya ini film yang full action, tetapi penulis skenarionya (Seno Gumira Ajidarma, Tumpal Tampubolon, Sheila Timothy) adalah mereka yang kuat dalam membuat cerita. Jadi, film ini sebenarnya akan seperti apa?
Film ini akan punya cerita yang kuat dan action yang bagus. Dua tahun kami membuat ini. Kami pakai CGI untuk set extension dan imaginary set buat lokasi yang sulit serta exaggerating action untuk adegan yang pakai jurus-jurus. Film ini dibuat dengan kesadaran secara spesifik untuk menyenangkan para pembacanya, tapi juga seru buat yang nggak baca atau nonton sinetronnya. Pokoknya film ini didesain sebagai film untuk bersenang-senang dan menghibur.
Film Anda hampir selalu ada kritik atau pernyataan sosialnya. Bagaimana dengan Wiro ?
Di Wiro, saya mau have fun aja. Pasti masih akan ada karakter saya, tapi ya lihat aja nanti.
Pilihan ini apa karena film Wiro bukan film produksi Visinema Pictures? Jadi harus kompromi?
Bukan kompromi. Saya kan masuk di sini sebagai kreatif bahwa ada hal-hal yang dibicarakan dengan Mbak Lala (Timothy) sebagai produser. Setiap cerita tentu harus punya konteks sosial, tapi apakah itu akan jadi layer utama, itu yang harus dilihat. Karena ini film komersial, jadi kami ingin film ini bisa diakses lebih banyak orang.
Anda pernah bilang bahwa film-film Anda ibarat kapsul waktu yang menunjukkan pikiran Anda saat itu. Apakah Wiro juga termasuk?
Tentu, dong. Film ini akan merepresentasikan saya dari segi skill, apa yang saya pikirkan, dan itu bukan sekadar isu, tapi juga konsep sinema. Bagaimana meletakkan kamera, editing, musik. How to tell story through audio visual.
Sejak kapan dan mengapa Anda memasukkan pernyataan sosial dalam film-film Anda, karena sepertinya waktu membuat film Hari untuk Amanda belum ada hal tersebut?
Ya, waktu itu memang belum. Tapi sebenarnya Hari untuk Amanda juga bicara tentang nilai pernikahan. Waktu itu tokohnya menilai yang penting itu event-nya, tapi lama-kelamaan dia sadar bahwa yang terpenting itu komitmennya. Sementara kalau film-film yang lain sebenarnya saya menawarkan perspektif.Cahaya dari Timur saya tawarkan bahwa saat ada konflik, media biasanya hanya memberitakan apa yang hancur dan jumlah korban, tapi film ini menunjukkan bahwa ada orang yang berani keluar rumah dan bekerja untuk perdamaian. Di Filosofi Kopi , saya tawarkan perspektif bahwa dari kopi yang kita minum, jangan-jangan ada ketidakadilan terhadap petani.Kami hanya mendorong penonton yang peduli untuk mengelaborasi apa yang saya sampaikan. Di Surat untuk Praha, saya sampaikan peristiwa 1965 bukan sebagai sebuah pertikaian ideologi, melainkan persoalan kemanusiaan. Banyak korban yang terpisah, ada keluarga korban yang tidak ada hubungannya dengan komunis, tapi tetap mengalami ketidakadilan.
Sejak kapan kesadaran untuk menyampaikan pendapat lewat film muncul?
Tahun 2010 saya berhenti berkarya. Saya pergi ke Mentawai (yang saat itu luluh lantak akibat gempa 7,7 SR) dan bersama teman-teman di Visinema membuat Save Mentawai. Dua tahun kami bantu rekonstruksi dan rehabilitasi. Kami jadi tim yang paling pertama datang dan paling terakhir pergi.Di sana kami banyak belajar bahwa ketidakadilan itu nyata. Banyak hal yang tidak kita lihat di Jakarta ada di sana. Anakanak sekolah yang belum pernah liat peta Indonesia. Mereka tanya, ‘Itu apa?’ Keluar dari sana, kami berpikir, we should do something, sekecil apa pun.Kami nggak bisa bikin film sebagai take it for granted. Kami punya privilege, punya media, jadi orang yang bisa akses media dan bisa ngomong lewat media ke lebih banyak orang. Apa yang mau kami kasih? Itu jadi hal yang penting buat kami kalo bikin film sampai hari ini.
Dengan idealisme seperti itu, apakah sulit meyakinkan investor atau Anda memang pilih-pilih investor?
Sama sekali tidak sulit. Kalau soal memilih, pasti pilih-pilih. Kami harus tahu uangnya dari mana. Itu salah satu kriteria. Kami banyak sekali menolak uang dari investor yang uangnya nggak bener. Walau tidak bisa membuktikan, kami punya feeling ini uangnya nggak bener, jadi kami nggak ambil. Investor kami nggak ganti-ganti kok, ituitu aja, salah satunya Pak Gita Wiryawan. Mereka balik lagi karena ya selalu untung dengan kami. Kami bankable.
Memang apa saja syarat uang investor yang mau Anda terima?
Bukan uang hasil korupsi, cuci uang, bisnis ilegal, illegal logging, bisnis yang tidak berprinsip, reklamasi.
Berapa banyak investor yang sudah menanam uang lebih dari tiga proyek?
Ada tiga; dari perusahaan, individu lewat perusahaan. Tapi, kami juga sudah bisa bikin proyek dari uang kami sendiri.
Itu proyek yang mana?
Yang akan kami kerjakan ke depannya. Setelah Keluarga Cemara, kami ada tujuh film dengan tujuh sutradara, termasuk saya. Nanti genrenya macam-macam.
Padahal, selama ini Visinema identik dengan karya-karya Anda.
Itu dia. Jadi selama 10 tahun Visinema, dari tahun lalu kami berpikir bahwa Visinema jangan hanya cuma tempat saya berkarya. Ini harus jadi tempat banyak orang berkarya. Jadi, dimulai tahun ini, kemarin ada Love for Sale yang sutradarai Andibachtiar Yusuf, nanti Keluarga Cemara dipegang Yandy Laurens. Sisanya nanti ada yang lain. Mereka ada yang sudah pernah bikin film bioskop, ada yang belum.
Bagaimana proses seleksi mereka?
Kami punya tujuh produser dan tiga eksekutif produser yang engage dengan banyak talent. Tiap produser punya bujet untuk bikin project. Mereka ini di bawah board of director.
Kalau Anda sendiri, apa rencana ke depan? Mengapa Anda tidak pernah menulis skenario untuk film Anda sendiri?
Saya tidak kuat menulis panjang, pikiran saya ke manamana. Saya kan juga CEO di lima perusahaan. Sekarang saya punya empat film untuk dibuat sampai 2021. Itu keputusan sejak raker awal tahun ini. Semuanya action, karena seru aja. Saya tidak mau membuat sesuatu yang mengulang. Lagi pula bikin action tantangannya besar, detail elemennya banyak. Bujetnya juga bisa tiga kali lebih besar dari bikin drama. Semua ceritanya nanti original story dengan setting masa kini. Ada yang akan syuting tahun ini, tapi rilisnya tahun depan.
Kalau rencana edukasi ke beberapa SMK?
Itu edu tour, CSR-nya Visinema untuk literasi media dan film. Kami punya concern terhadap SMK karena lulusannya dituntut siap kerja, tapi kapasitas staf dan alatnya tidak membantu untuk itu. Jadi, kalau saya sharing sedikit tentang pengalaman saya, mungkin bisa membantu mereka.
Ke depannya, Anda melihat diri Anda sebagai sutradara atau entrepreneur?
Jadi sutradara bikin saya live longer, tapi part of me ya entrepreneur. Saya mau direct film sampai umur 85 tahun. Kalau usaha, saya dengan istri saya (produser Anggia Kharisma) ada venture baru, leisure business dan F&B, bikin vila dan hotel masih di Indonesia, sama bikin grup restoran.
Kalau Visinema, 10 tahun lagi akan seperti apa?
Kami akan tumbuh bersama dengan dunia konten tumbuh. Lanskapnya sangat cepat, jadi kami menyiapkan diri untuk beradaptasi dengan semua perubahan. Kami tidak mau terlambat shifting, pokoknya liquid.
Semua dikerjakan dengan berusaha teguh pada idealisme berkarya dan berbisnis. Kesibukan Angga terlihat jelas saat KORAN SINDO melakukan janji wawancara dengannya pada Selasa (14/8) lalu di Kantor Visinema Pictures, Cilandak Timur, Jakarta Selatan. Seharusnya pertemuan dilakukan pukul 16.00 WIB.
Namun, setengah jam sebelum wawancara, tibatiba Angga ditelepon dan harus segera menuju kantornya yang lain, Kedai Filosofi Kopi, di daerah Melawai, Blok M. Ada rapat internal mendadak. Rapat pun baru kelar pukul 17.00. Setelah itu, Angga masih harus kembali ke kantor di Cilandak. Berjibaku dengan macet di Ibu Kota, akhirnya wawancara baru bisa dilaksanakan selepas magrib.
Wawancara dilakukan di bagian kantor yang baru setengah jadi. Saat itu memang bangunan tengah diperluas dengan mengambil lahan di samping bangunan lama. Semuanya demi menampung aktivitas kerja yang akan jauh lebih sibuk pada tahun mendatang. Berikut petikan wawancara kami dengan Angga seputar film Wiro Sableng dan visinya bersama Visinema.
Sebentar lagi film Wiro Sableng dirilis. Kalau melihat trailernya, sepertinya ini film yang full action, tetapi penulis skenarionya (Seno Gumira Ajidarma, Tumpal Tampubolon, Sheila Timothy) adalah mereka yang kuat dalam membuat cerita. Jadi, film ini sebenarnya akan seperti apa?
Film ini akan punya cerita yang kuat dan action yang bagus. Dua tahun kami membuat ini. Kami pakai CGI untuk set extension dan imaginary set buat lokasi yang sulit serta exaggerating action untuk adegan yang pakai jurus-jurus. Film ini dibuat dengan kesadaran secara spesifik untuk menyenangkan para pembacanya, tapi juga seru buat yang nggak baca atau nonton sinetronnya. Pokoknya film ini didesain sebagai film untuk bersenang-senang dan menghibur.
Film Anda hampir selalu ada kritik atau pernyataan sosialnya. Bagaimana dengan Wiro ?
Di Wiro, saya mau have fun aja. Pasti masih akan ada karakter saya, tapi ya lihat aja nanti.
Pilihan ini apa karena film Wiro bukan film produksi Visinema Pictures? Jadi harus kompromi?
Bukan kompromi. Saya kan masuk di sini sebagai kreatif bahwa ada hal-hal yang dibicarakan dengan Mbak Lala (Timothy) sebagai produser. Setiap cerita tentu harus punya konteks sosial, tapi apakah itu akan jadi layer utama, itu yang harus dilihat. Karena ini film komersial, jadi kami ingin film ini bisa diakses lebih banyak orang.
Anda pernah bilang bahwa film-film Anda ibarat kapsul waktu yang menunjukkan pikiran Anda saat itu. Apakah Wiro juga termasuk?
Tentu, dong. Film ini akan merepresentasikan saya dari segi skill, apa yang saya pikirkan, dan itu bukan sekadar isu, tapi juga konsep sinema. Bagaimana meletakkan kamera, editing, musik. How to tell story through audio visual.
Sejak kapan dan mengapa Anda memasukkan pernyataan sosial dalam film-film Anda, karena sepertinya waktu membuat film Hari untuk Amanda belum ada hal tersebut?
Ya, waktu itu memang belum. Tapi sebenarnya Hari untuk Amanda juga bicara tentang nilai pernikahan. Waktu itu tokohnya menilai yang penting itu event-nya, tapi lama-kelamaan dia sadar bahwa yang terpenting itu komitmennya. Sementara kalau film-film yang lain sebenarnya saya menawarkan perspektif.Cahaya dari Timur saya tawarkan bahwa saat ada konflik, media biasanya hanya memberitakan apa yang hancur dan jumlah korban, tapi film ini menunjukkan bahwa ada orang yang berani keluar rumah dan bekerja untuk perdamaian. Di Filosofi Kopi , saya tawarkan perspektif bahwa dari kopi yang kita minum, jangan-jangan ada ketidakadilan terhadap petani.Kami hanya mendorong penonton yang peduli untuk mengelaborasi apa yang saya sampaikan. Di Surat untuk Praha, saya sampaikan peristiwa 1965 bukan sebagai sebuah pertikaian ideologi, melainkan persoalan kemanusiaan. Banyak korban yang terpisah, ada keluarga korban yang tidak ada hubungannya dengan komunis, tapi tetap mengalami ketidakadilan.
Sejak kapan kesadaran untuk menyampaikan pendapat lewat film muncul?
Tahun 2010 saya berhenti berkarya. Saya pergi ke Mentawai (yang saat itu luluh lantak akibat gempa 7,7 SR) dan bersama teman-teman di Visinema membuat Save Mentawai. Dua tahun kami bantu rekonstruksi dan rehabilitasi. Kami jadi tim yang paling pertama datang dan paling terakhir pergi.Di sana kami banyak belajar bahwa ketidakadilan itu nyata. Banyak hal yang tidak kita lihat di Jakarta ada di sana. Anakanak sekolah yang belum pernah liat peta Indonesia. Mereka tanya, ‘Itu apa?’ Keluar dari sana, kami berpikir, we should do something, sekecil apa pun.Kami nggak bisa bikin film sebagai take it for granted. Kami punya privilege, punya media, jadi orang yang bisa akses media dan bisa ngomong lewat media ke lebih banyak orang. Apa yang mau kami kasih? Itu jadi hal yang penting buat kami kalo bikin film sampai hari ini.
Dengan idealisme seperti itu, apakah sulit meyakinkan investor atau Anda memang pilih-pilih investor?
Sama sekali tidak sulit. Kalau soal memilih, pasti pilih-pilih. Kami harus tahu uangnya dari mana. Itu salah satu kriteria. Kami banyak sekali menolak uang dari investor yang uangnya nggak bener. Walau tidak bisa membuktikan, kami punya feeling ini uangnya nggak bener, jadi kami nggak ambil. Investor kami nggak ganti-ganti kok, ituitu aja, salah satunya Pak Gita Wiryawan. Mereka balik lagi karena ya selalu untung dengan kami. Kami bankable.
Memang apa saja syarat uang investor yang mau Anda terima?
Bukan uang hasil korupsi, cuci uang, bisnis ilegal, illegal logging, bisnis yang tidak berprinsip, reklamasi.
Berapa banyak investor yang sudah menanam uang lebih dari tiga proyek?
Ada tiga; dari perusahaan, individu lewat perusahaan. Tapi, kami juga sudah bisa bikin proyek dari uang kami sendiri.
Itu proyek yang mana?
Yang akan kami kerjakan ke depannya. Setelah Keluarga Cemara, kami ada tujuh film dengan tujuh sutradara, termasuk saya. Nanti genrenya macam-macam.
Padahal, selama ini Visinema identik dengan karya-karya Anda.
Itu dia. Jadi selama 10 tahun Visinema, dari tahun lalu kami berpikir bahwa Visinema jangan hanya cuma tempat saya berkarya. Ini harus jadi tempat banyak orang berkarya. Jadi, dimulai tahun ini, kemarin ada Love for Sale yang sutradarai Andibachtiar Yusuf, nanti Keluarga Cemara dipegang Yandy Laurens. Sisanya nanti ada yang lain. Mereka ada yang sudah pernah bikin film bioskop, ada yang belum.
Bagaimana proses seleksi mereka?
Kami punya tujuh produser dan tiga eksekutif produser yang engage dengan banyak talent. Tiap produser punya bujet untuk bikin project. Mereka ini di bawah board of director.
Kalau Anda sendiri, apa rencana ke depan? Mengapa Anda tidak pernah menulis skenario untuk film Anda sendiri?
Saya tidak kuat menulis panjang, pikiran saya ke manamana. Saya kan juga CEO di lima perusahaan. Sekarang saya punya empat film untuk dibuat sampai 2021. Itu keputusan sejak raker awal tahun ini. Semuanya action, karena seru aja. Saya tidak mau membuat sesuatu yang mengulang. Lagi pula bikin action tantangannya besar, detail elemennya banyak. Bujetnya juga bisa tiga kali lebih besar dari bikin drama. Semua ceritanya nanti original story dengan setting masa kini. Ada yang akan syuting tahun ini, tapi rilisnya tahun depan.
Kalau rencana edukasi ke beberapa SMK?
Itu edu tour, CSR-nya Visinema untuk literasi media dan film. Kami punya concern terhadap SMK karena lulusannya dituntut siap kerja, tapi kapasitas staf dan alatnya tidak membantu untuk itu. Jadi, kalau saya sharing sedikit tentang pengalaman saya, mungkin bisa membantu mereka.
Ke depannya, Anda melihat diri Anda sebagai sutradara atau entrepreneur?
Jadi sutradara bikin saya live longer, tapi part of me ya entrepreneur. Saya mau direct film sampai umur 85 tahun. Kalau usaha, saya dengan istri saya (produser Anggia Kharisma) ada venture baru, leisure business dan F&B, bikin vila dan hotel masih di Indonesia, sama bikin grup restoran.
Kalau Visinema, 10 tahun lagi akan seperti apa?
Kami akan tumbuh bersama dengan dunia konten tumbuh. Lanskapnya sangat cepat, jadi kami menyiapkan diri untuk beradaptasi dengan semua perubahan. Kami tidak mau terlambat shifting, pokoknya liquid.
(don)